Abdiah Mahayung Soroti Diskriminasi Pemukiman Pesisir Masyarakat Bajau NTT pada Kongres Sama Bajau yang Digelar Kementerian Kebudayaan di Luwuk
Luwuk: Kongres Sama - Bajau dalam Festival Lipu Selebes yang digelar oleh Kementerian Kebudayaan di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, menjadi ajang diskusi penting bagi perwakilan suku Sama Bajau utusan dari berbagai provinsi di Indonesia, juga turut hadir perwakilan Sama Bajau beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Thailand, Malaysia dan Filipina. Jumat, (13/12/2024)
Forum diskusi yang dihadiri oleh 80-an delegasi lokal dan internasional, menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Suku Bajau, termasuk diskriminasi pemukiman masyarakat Bajau di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masyarakat Bajau (Bajo), yang dikenal sebagai komunitas pesisir dengan tradisi maritim yang kuat, menghadapi berbagai tantangan dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah mereka terutama di NTT, seperti Flores, pesisir Sulamu, Kabir dan daerah lainnya. Meski telah mendiami kawasan pesisir selama puluhan tahun dan berkontribusi melalui pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), mereka belum mendapatkan legalitas atas tanah yang mereka tempati.
Forum diskusi berlangsung selama tiga hari, salah satu isu yang juga dibahas adalah marginalisasi.
Delegasi Bajau dari Provinsi NTT, Abdiah Mahayung, yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perkumpulan Orang Same Bajau Indonesia (DPW POSBI) NTT mengungkapkan bahwa komunitas mereka menghadapi kesulitan dalam mengakses tanah dan tempat tinggal yang layak karena diskriminasi struktural. Selain tidak adanya sertifikat atas aset rumah yang berdiri di atas laut, juga tidak diberikan sertifikat atas tanah yang mereka tempati sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam menjadi isu sentral dalam kehidupan masyarakat Bajau.
"Tanah yang kami tempati sejak lama tidak diberi sertifikat oleh pemerintah setempat, hal ini memicu kekhawatiran kami akan potensi penggusuran atau konflik lahan. Kami sering diabaikan dalam program pembangunan pemerintah, bahkan sering dipaksa pindah tanpa solusi pemukiman yang layak,". Ungkap Abdiah.
Forum ini juga menghadirkan para peneliti, aktivis, dan pejabat pemerintah untuk memberikan perspektif mengenai solusi atas persoalan tersebut. Dalam salah satu sesi diskusi, Direktur Advokasi Komunitas Adat Nasional menegaskan pentingnya pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat Bajo.
“Jika diskriminasi ini terus berlangsung, keberlangsungan hidup dan budaya masyarakat Bajau sebagai masyarakat maritim terancam punah. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat adat suku Bajau mendapatkan hak yang sama dalam pembangunan.” Lanjut Abdiah.
"Kami membayar pajak setiap tahun, tetapi tanah ini belum diakui secara hukum. Kami ingin memiliki sertifikat tanah agar ada jaminan bahwa kami tidak kehilangan tempat tinggal," tambah Sarno Musril, Ketua DPD POSBI Adonara yang juga merupakan delegasi dari NTT.
Erni Bajau, Ketua Umum POSBI mengungkapkan bahwa bagi masyarakat Bajau, pengakuan hak atas tanah bukan hanya soal legalitas, tetapi juga simbol penghormatan terhadap identitas dan keberlangsungan budaya Bajau. "Kami berharap, semoga melalui dialog-dialog intensif POSBI dengan pemangku kebijakan, dapat melahirkan komitmen nyata dari pemerintah. Keinginan untuk memiliki sertifikat tanah atas rumah yang berdiri di atas laut dapat segera terwujud." Pungkasnya.